5 Pemberontakan DI/TII di Berbagai Daerah Indonesia (Lengkap)
5 Pemberontakan DI/TII di Berbagai Daerah di Indonesia (Lengkap) - Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) resmi berdiri tanggal 7 Agustus 1949. Akan tetapi, akar sejarahnya telah ada sejak zaman Jepang, pada saat datang keinginan untuk menciptakan negara berdasarkan Islam. Dewan Imamah (Penasihat) DI/TII adalah Soekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.
Rongrongan atas keamanan dalam negeri juga dilakukan DI/TII. Pemberontakan DI/TII merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Pemberontakan DI/TII timbul di beberapa daerah di Indonesia, antara lain adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Aceh.
Gerakan DI/TII di Jawa Barat tampak pada waktu terjadi penarikan pasukan TNI dari wilayah yang diduduki Belanda ke wilayah RI sebagai akibat perundingan Renville. Akan tetapi, anggota Hizbullah dan Sabilillah tidak mengikuti ketentuan perundingan Renville. kedua laskar itu berada di bawah pengaruh Seoekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.
Semula Kartosuwirjo ikut bergerilya di daerah Jawa Barat. Ia ingin membentuk negara Islam lepas dari Republik Indonesia. Untuk itu ia menghimpun orang-orang yang setia kepadanya untuk masuk tentara Darul Islam. Pada tanggal 4 Agustus 1949 Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Tindakan Kartosuwirjo itu membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Rakyat pun sangat dirugikan karena Kartosuwirjo dan anggotanya melakukan teror, pembunuhan, pengrusakan, dan pengambilan harta kekayaan masyarakat secara paksa.
Penumpasan Gerakan DI/TII di Jawa Barat memakan waktu yang lama. Baru pada tahun 1960-an, Divisi Siliwangi mulai melancarkan operasi secara terstruktur dan besar-besaran. Dengan dibantu rakyat dalam operasi "Pagar Betis", pada saat tahun 1962 gerombolan DI/TII akhirnya bisa dihancurkan. Kartosuwirjo dapat ditangkap di Gunung Geber, ia kemudian di hukum mati.
Perjuangan DI/TII memperoleh dukungan dari Jawa Tengah. Tokoh utamanya adalah Amir Fatah. Ia sebelumnya adalah pejuang dan komandan laskar Hizbullah. Selanjutnya ia berhasil mempengaruhi laskar Hizbullah yang ingin bergabung dengan TNI di Tegal.
Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri dan bergabung dengan DI/TII Kartosuwirjo tanggal 23 Agustus 1949. Mereka membentuk pemerintah tandingan di daerahnya.
Gerakan yang sama juga ada di Kebumen. Pemimpinnya adalah Mohammad Mahfu'dh Abdulrachman atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Sumolangu. Gerakannya juga merupakan penerus DI/TII Kartosuwirjo dengan markas di Brebes dan Tegal. Pembelotan ini merupakan pukulan bagi TNI saat itu.
Pemerintah lalu membentuk pasukan Benteng Raiders untuk menghadapi gerakan tersebut. Denan pasukan ini, pemerintah menggelar operasi Gerakan Banteng Negara. Sisa-sisa gerakan DI/TII di Jawa Tengah kemudian berhasil dikalahkan oleh pemerintah melalui Operasi Guntur.
Pada mulanya gerakan DI/TII di Jawa Tengah sudah mulai terdesak oleh TNI. Namun, pada bulan Desember 1951 mereka menjadi kuat kembali karena mendapat pertolongan dari Batalyon 426. Batalyon 426 di daerah Kudus dan Magelang memberontak dan menggabungkan diri menjadi DI/TII.
Kekuatan Batalyon pemberontak ini dapat dihancurkan. Sisa-sisanya lari ke Jawa Barat berbagabung dengan DI/TII Kartosuwirjo.
Sementara itu, di daerah Merapi dan Merbabu terjadi kerusuhan oleh gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini dapat dihancurkan TNI pada bulan April 1952. Sisa-sisanya bergabung dengan DI/TII. Kekuatan DI/TII di daerah Jawa Tengah yang semula dapat dipatahkan justru menjadi kuat lagi karena bergabungnya sisa-sia Batalyon 426.
Untuk mengatasi pemberontakan itu, segera dibentuk pasukan Banteng Raiders. Pasukan itu selanjutnya mengadakan operasi kilat yang dinamakan Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954, gerakan DI/TII di Jawa Tengah dapat dikalahkan setelah pusat kekuatan gerakan DI/TII di perbatasan Pekalongan-Banyumas dihancurkan.
Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dikobarkan oleh Ibnu Hadjar, seorang mantan Letnan Dua TNI. Ia memberontak dan menyatakan gerakannnya sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwirjo. Dengan pasukan yang bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang berbagai pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan aksi pengacauan pada bulan Oktober 1950.
Pemerintah memberi kesempatan pada Ibnu Hadjar untuk menghentikan pemberontakannya secara damai. Ia pernah menyerahkan diri dengan pasukannya. Ia diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Tetapi, ia melarikan diri dan melanjutkan pemberontakan.
Pemerintah RI akhirnya mengambil tindakan tegas dan berani. Pada akhir tahun 1959, pasukan Ibnu Hadjar dapat dihancurkan. Ibnu Hadjar sendiri dapat ditangkap.
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Kahar Muzakar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang selama Perang Kemerdekaan ikut berjuang di Pulau Jawa.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Kahar Muzaka berpulang ke Sulawesi Selatan. Ia berhasil menghimpun dan memimpin laskar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan. Laskar-laskar itu tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Pada tanggal 30 April 1950, Kahar Muzakar mengirim surat untuk pemerintah dan pimpinan APRIS. Ia meminta agar semua anggota KGGS dimasukkan dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Permohonan itu ditolak karena hanya mereka yang lulus dalam penyaringan saja yang boleh diterima dalam APRIS.
Pemerintah mengambil kebikjasanaan untuk menyalurkan bekas gerilyawan ke dalam Korps Cadangan Nasional. Kahar Muzakar sendiri diberi pangkat Letnan Kolonel.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah tampaknya membawa hasil. Akan tetapi, pada saat akan dilantik, Kahar Muzakar bersama anak buahna melarikan diri ke hutan dengan membawa berbagai peralatan yang diberikan.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 17 Agustus 1951. Pada bulan Januari 1952, Kahar Muzakar menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Inedonesia di bawah pimpinan Kartosuwirjo.
Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas dan mulai melancarkan operasi militer. Operasi penumpasan pemberontakan Kahar Muzakar memakan waktu yang lama. Pada bulan Februari 1965, Kahar Muzakar tewas dalam suatu penyerbuan. Bulan Juli 1965, Gerungan (orang kedua setelah Kahar Muzakar) dapat ditangkap. Dengan demikian berakhirlah pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan pecah karena kekhawatiran akan kehilangan kedudukan dan perasaan kecewa diturunkannya kedudukan Aceh dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah provinsi Sumatera Utara.
Semula Tengku Daud Beureueh adalah GUbernur Militer daerah Istimewa Aceh. Pada tahun 1950 kedudukan Aceh diturunkan dari provinsi menjadi karesidenan, Daud Beureueh tidak senang karena jabatannya diturunkan.
Pada tanggal 20 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang mengatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari NII di bawah Kartosuwirjo. Setelah itu, Tengku Daud Beureueh mengadakan gerakan dan mempengaruhi masyarkat melalui propaganda bernada negatif terhadap pemerintah RI.
Untuk menghadapi gerakan itu, pemerintah mengirim pasukan yang memiliki persenjataan lengkap. Setelah beberapa tahun dikepung, baru pada tanggal 21 Desember 1962 tercapailah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Banyak dari gerombolan itu yang kembal ke panguan RI.
Dengan demikian, pemberontakan DI/TII di Aceh dapat diselesaikan dengan cara damai. Pemimpin dari gerakan ini pun setuju untuk kembali ke pangkuan RI. Parkarsa penyelesaian di Aceh tersebut dipimpin oleh Kolonel M. Jasin, Panglima Kodam I Iskandar Muda.
Baca juga: PKI Madiun 1948 (Sejarah, Tujuan, Latar Belakang, Penumpasan)
Demikianlah artikel kali ini tentang 5 Pemberontakan DI/TII di Berbagai Daerah Indonesia (Lengkap). Semoga bermanfaat bagi Anda. Sekian dan terimakasih.
Rongrongan atas keamanan dalam negeri juga dilakukan DI/TII. Pemberontakan DI/TII merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Pemberontakan DI/TII timbul di beberapa daerah di Indonesia, antara lain adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Aceh.
1. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Gerakan DI/TII di Jawa Barat tampak pada waktu terjadi penarikan pasukan TNI dari wilayah yang diduduki Belanda ke wilayah RI sebagai akibat perundingan Renville. Akan tetapi, anggota Hizbullah dan Sabilillah tidak mengikuti ketentuan perundingan Renville. kedua laskar itu berada di bawah pengaruh Seoekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.
Semula Kartosuwirjo ikut bergerilya di daerah Jawa Barat. Ia ingin membentuk negara Islam lepas dari Republik Indonesia. Untuk itu ia menghimpun orang-orang yang setia kepadanya untuk masuk tentara Darul Islam. Pada tanggal 4 Agustus 1949 Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Tindakan Kartosuwirjo itu membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Rakyat pun sangat dirugikan karena Kartosuwirjo dan anggotanya melakukan teror, pembunuhan, pengrusakan, dan pengambilan harta kekayaan masyarakat secara paksa.
Penumpasan Gerakan DI/TII di Jawa Barat memakan waktu yang lama. Baru pada tahun 1960-an, Divisi Siliwangi mulai melancarkan operasi secara terstruktur dan besar-besaran. Dengan dibantu rakyat dalam operasi "Pagar Betis", pada saat tahun 1962 gerombolan DI/TII akhirnya bisa dihancurkan. Kartosuwirjo dapat ditangkap di Gunung Geber, ia kemudian di hukum mati.
2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Perjuangan DI/TII memperoleh dukungan dari Jawa Tengah. Tokoh utamanya adalah Amir Fatah. Ia sebelumnya adalah pejuang dan komandan laskar Hizbullah. Selanjutnya ia berhasil mempengaruhi laskar Hizbullah yang ingin bergabung dengan TNI di Tegal.
Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri dan bergabung dengan DI/TII Kartosuwirjo tanggal 23 Agustus 1949. Mereka membentuk pemerintah tandingan di daerahnya.
Gerakan yang sama juga ada di Kebumen. Pemimpinnya adalah Mohammad Mahfu'dh Abdulrachman atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Sumolangu. Gerakannya juga merupakan penerus DI/TII Kartosuwirjo dengan markas di Brebes dan Tegal. Pembelotan ini merupakan pukulan bagi TNI saat itu.
Pemerintah lalu membentuk pasukan Benteng Raiders untuk menghadapi gerakan tersebut. Denan pasukan ini, pemerintah menggelar operasi Gerakan Banteng Negara. Sisa-sisa gerakan DI/TII di Jawa Tengah kemudian berhasil dikalahkan oleh pemerintah melalui Operasi Guntur.
Pada mulanya gerakan DI/TII di Jawa Tengah sudah mulai terdesak oleh TNI. Namun, pada bulan Desember 1951 mereka menjadi kuat kembali karena mendapat pertolongan dari Batalyon 426. Batalyon 426 di daerah Kudus dan Magelang memberontak dan menggabungkan diri menjadi DI/TII.
Kekuatan Batalyon pemberontak ini dapat dihancurkan. Sisa-sisanya lari ke Jawa Barat berbagabung dengan DI/TII Kartosuwirjo.
Sementara itu, di daerah Merapi dan Merbabu terjadi kerusuhan oleh gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini dapat dihancurkan TNI pada bulan April 1952. Sisa-sisanya bergabung dengan DI/TII. Kekuatan DI/TII di daerah Jawa Tengah yang semula dapat dipatahkan justru menjadi kuat lagi karena bergabungnya sisa-sia Batalyon 426.
Untuk mengatasi pemberontakan itu, segera dibentuk pasukan Banteng Raiders. Pasukan itu selanjutnya mengadakan operasi kilat yang dinamakan Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954, gerakan DI/TII di Jawa Tengah dapat dikalahkan setelah pusat kekuatan gerakan DI/TII di perbatasan Pekalongan-Banyumas dihancurkan.
3. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dikobarkan oleh Ibnu Hadjar, seorang mantan Letnan Dua TNI. Ia memberontak dan menyatakan gerakannnya sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwirjo. Dengan pasukan yang bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang berbagai pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan melakukan aksi pengacauan pada bulan Oktober 1950.
Pemerintah memberi kesempatan pada Ibnu Hadjar untuk menghentikan pemberontakannya secara damai. Ia pernah menyerahkan diri dengan pasukannya. Ia diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Tetapi, ia melarikan diri dan melanjutkan pemberontakan.
Pemerintah RI akhirnya mengambil tindakan tegas dan berani. Pada akhir tahun 1959, pasukan Ibnu Hadjar dapat dihancurkan. Ibnu Hadjar sendiri dapat ditangkap.
4. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Kahar Muzakar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang selama Perang Kemerdekaan ikut berjuang di Pulau Jawa.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Kahar Muzaka berpulang ke Sulawesi Selatan. Ia berhasil menghimpun dan memimpin laskar-laskar gerilya di Sulawesi Selatan. Laskar-laskar itu tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Pada tanggal 30 April 1950, Kahar Muzakar mengirim surat untuk pemerintah dan pimpinan APRIS. Ia meminta agar semua anggota KGGS dimasukkan dalam APRIS dengan nama Brigade Hasanuddin. Permohonan itu ditolak karena hanya mereka yang lulus dalam penyaringan saja yang boleh diterima dalam APRIS.
Pemerintah mengambil kebikjasanaan untuk menyalurkan bekas gerilyawan ke dalam Korps Cadangan Nasional. Kahar Muzakar sendiri diberi pangkat Letnan Kolonel.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan pemerintah tampaknya membawa hasil. Akan tetapi, pada saat akan dilantik, Kahar Muzakar bersama anak buahna melarikan diri ke hutan dengan membawa berbagai peralatan yang diberikan.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 17 Agustus 1951. Pada bulan Januari 1952, Kahar Muzakar menyatakan daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Inedonesia di bawah pimpinan Kartosuwirjo.
Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas dan mulai melancarkan operasi militer. Operasi penumpasan pemberontakan Kahar Muzakar memakan waktu yang lama. Pada bulan Februari 1965, Kahar Muzakar tewas dalam suatu penyerbuan. Bulan Juli 1965, Gerungan (orang kedua setelah Kahar Muzakar) dapat ditangkap. Dengan demikian berakhirlah pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
5. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Pemberontakan pecah karena kekhawatiran akan kehilangan kedudukan dan perasaan kecewa diturunkannya kedudukan Aceh dari daerah istimewa menjadi karesidenan di bawah provinsi Sumatera Utara.
Semula Tengku Daud Beureueh adalah GUbernur Militer daerah Istimewa Aceh. Pada tahun 1950 kedudukan Aceh diturunkan dari provinsi menjadi karesidenan, Daud Beureueh tidak senang karena jabatannya diturunkan.
Pada tanggal 20 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang mengatakan bahwa Aceh merupakan bagian dari NII di bawah Kartosuwirjo. Setelah itu, Tengku Daud Beureueh mengadakan gerakan dan mempengaruhi masyarkat melalui propaganda bernada negatif terhadap pemerintah RI.
Untuk menghadapi gerakan itu, pemerintah mengirim pasukan yang memiliki persenjataan lengkap. Setelah beberapa tahun dikepung, baru pada tanggal 21 Desember 1962 tercapailah Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Banyak dari gerombolan itu yang kembal ke panguan RI.
Dengan demikian, pemberontakan DI/TII di Aceh dapat diselesaikan dengan cara damai. Pemimpin dari gerakan ini pun setuju untuk kembali ke pangkuan RI. Parkarsa penyelesaian di Aceh tersebut dipimpin oleh Kolonel M. Jasin, Panglima Kodam I Iskandar Muda.
Baca juga: PKI Madiun 1948 (Sejarah, Tujuan, Latar Belakang, Penumpasan)
Demikianlah artikel kali ini tentang 5 Pemberontakan DI/TII di Berbagai Daerah Indonesia (Lengkap). Semoga bermanfaat bagi Anda. Sekian dan terimakasih.
Tidak ada komentar