Header Ads

Upaya Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia

Upaya Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia -  Pemajuan HAM di Indonesia memiliki berbagai periode mulai dari periode 1945-1950, periode 1950-1959, periode 1959-1966, periode 1966-1998 dan terakhir adalah periode 1998-sekarang.

Pemikiran HAM pada periode 1945-1950 kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.

Pada periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode parlementer. Pemikiran pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membagakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangan demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik.

Pada periode 1959-1966 sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada demokrasi ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden.

Pada periode 1966-1998 telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi, dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia.

Pada periode 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM.

Upaya Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia


Upaya Pemajuan dan Perlindungan HAM di Indonesia


1. Periode Tahun 1945-1950


Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.

Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi), yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bersamaan dengan itu prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka.

Komitmen terhadap HAM pada periode awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka menyatakan:

"...sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak"

Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan parta politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 antara lain menyatakan sebagai berikut.

  1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
  2. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintah dari presidensial menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Isi Maklumat tersebut adalah sebagai berikut.

"Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang ketat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab ada di dalam tangan menteri".

2. Periode Tahun 1950-1959


Periode ini dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yangm enjadi semangan demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalngan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan dalam buku "Perkembangan Pemikiran dan Pengaruan HAM di Indonesia menyatakan bahwa pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami "pasang" dan menikmatai "bulan madu" kebebasan.

Indikatornya menurut ahli hukum tata negara ini ada 5 (lima) aspek.

  1. Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing.
  2. Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
  3. Pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi harus berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis.
  4. Parlemen atau dewan perwakilann rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif.
  5. Wacanan dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondisif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
Dalam perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota KOnstituante keberadaannya mendahului bab-bab UUD.

3. Periode Tahun 1959-1966


Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, Presiden melakukan tindakan inkonstitusional, baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. 

Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi manusia, yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan, Dengan kata lain, telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.

4. Periode Tahun 1966-1998


Setelah terjadi peralihan pemerintah dari Soekarno ke Soeharto, ada semangan untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah ditiadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan komisi, dan pengadilan HAM untuk wilayah Asia.

Selanjutnya, pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil (judical review) guna melindungi HAM. Hak uji materiil tidak lain diadakan dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966. MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentanhg Hak-Hak Asai Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, Ketua MPRS, A.H. Nasution dalam pidatonya menyatakan sebagai berikut.

"Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan hak-hak asasi, yang berimbalan dengan kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hubungan yang timbal balik: a. antarmanusia dengan manusia; b. antarmanusia dengan Bangsa, Negara dan Tanah Air; antar Bangsa. Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian Pancasila yang menghargai hak individu dalam keselarasannya dengan kewajiban individu terhadap masyarakat".

Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran penguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia.

Pemerintah pada masa ini bersifat mempertahankan produk hukum yang umunya membangun pelaksanaan HAM. Sikap pemerintah tercemin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercemin dalam Pancasila. 

Selain itu, Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Selain itu, sikap pemerintah ini didasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia.

Meskipun mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama di kalangan masyarakat yang dimotori oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan akademisi yang fokus terhadap penegakan HAM.

Upaya masyarakat dilakukan melakui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, Kedung Omdo, kasus DOM di Aceh, kasus Irian Jaya, dan sebagainya.

Upaya yang dilakukan oleh mmasyarakat menjelang periode 1990-an nampaknya memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM.

Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan pengakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES Nomor 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.

Selain itu, Komisi ini bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (termasuk hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piagam Madinah, Khutbah Wada', Deklarasi Kairo, dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengna penegakan HAM.

5. Periode Tahun 1998-Sekarang


Pergantian pemerintah pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM.

Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakukan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya tang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM.

Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan dua tahap, yaitu tahap status penentuan (prescriptive status) dan tahan penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap status penentuan telah ditetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentanh HAM, seperti amandemen konstitusi negara (UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945), ketetapan MPR (TAP MPR), Undang-Undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.

Adapun, tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour) mulai dilakukan pada pasa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Tahap ini ditandai dengan penghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM, yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Lainnya dengan UU Nomor 5/1999; Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi dengan keppers Nomor 83/1998; Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penhapusan Kerja Paksa dengan UU Nomor 19/1999; Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan dengan UU Nomor 21/1999; Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan UU Nomor 20/1999.

Selain itu, juga dicanangkan program "Rencana Aksi Nasional HAM" pada tanggal 15 Agustus 1998 didasarkan pada empat hal sebagai berikut.

  1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM.
  2. Desiminasi informasi dan pendidikan bidang HAM.
  3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM.
  4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.


Demikianlah artikel kali ini tentang Upaya Pemajuan dan Perlindungan HAM di Indonesia. Semoga bermanfaat bagi Anda. Sekian dan terimakasih.

Sumber: Buku Pendidikan Pancasila dan Kewarnegaraaan untuk kelas x

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.