Header Ads

7 Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia

7 Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia - Penjajah Belanda sangat mengetahui pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia, karena itu mereka memandang perlu membuat UU untuk membendung pengaruh pers Indonesia karena merupakan momok yang harus diperangi.

Menurut Suruhum pemerintah mengeluarkan selain KUHP tetapi Belanda mengeluarkan aturan yang bernama Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menghentikan penertiban surat kabar atau majalah Indonesia yang dianggap berbahaya.

Kemudian Belanda juga mengeluarkan Peraturan yang bernama Haatzai Artekelen, yaitu berisi pasal-pasal yang mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda, serta terhadap sejumlah kelompok penduduk Hindia Belanda.

Surat kabar sebagai senjata untuk menyebarkan cita-cita sudah dikenal dalam sejarah dunia. Julius Caesar sebagai pendiri kemaharajaan Romawi pada abad sebeum masehi sudah mengetahui betapa pentingnya surat kabar sebagai senjata yang tajam, sehingga ia mengajurkan utuk menerbitkan surat kabar Acta Diurna.

Napoleon Bonaporte juga menerbitkan surat kabar untuk mempertahankan pendiriannya dan menyerang musuh-musuhnya.

Kapankah pers di Indonesia mulai tumbuh? Bagaimanakah perkembangan pers di Indonesia dari waktu ke waktu? Perkembangan pers di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada pada masanya.

Berikut ini adalah sejarah perkembangan pers di indonesia yaitu pers zaman penjajahan Belanda, masa pergerakan, masa penjajahan Jepang, masa Revolusi, masa orde lama, masa orde baru dan masa reformasi. 

7 Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia



#1 Pers Zaman Penjajahan Belanda


Di awal perkembangannya, pers Indonesia antara lain ditandai munculnya buletin berbahasa Belanda milik VOC Novelles en Politique Raisonnementen yang kemudian ditutup karena dinilai merugikan VOC, tetapi kemudian muncul lagi Bataviasche Courant di Jakarta, Surabaya, dan Semarang.

Saruhum, dalam tulisannya yang berjudul "Perjuangan Surat Kabar Indonesia" yang dimuat dalam sekilas "Perjuangan Surat Kabar", menyatakan :

"Maka untuk membatasi pengaruh momok ini, pemerintah Hindia Belanda memandang tidak cukup mengancamnya saja dengan kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Setelah ternyata dengan KUHP itu saja tidak mempan, maka diadakanlah pula artikel-artikel tambahan seperti artikel 153 bis dan ter. 161 bis dan ter. dan artikel 154 pula Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah penjajah Belanda untuk menghentikan penertiban surat kabar/majalah Indonesia yang dianggap berbahaya".

Tindakan lain di samping Persbreidel Ordonantie adalah Haatzai Artikelen, karena pasal-pasalnya mengancam permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda (pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk  di Hindia Belanda (pasal 156 dan 157).

Akibatnya, banyak korban penjajahan, antara lain S.K Trimurti sampai melahirkan di penjara, bahkan ada yang sampai di buang ke Boven Digul. Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan pers ketika itu sangat tertekan.

#2 Masa Pergerakan


Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada pada detik-detik terakhir penjajahan Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers pada masa pergerakan tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan nasional bangsa Indonesia melawan penjajahan.

Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itu merupakan "terompet" dari organisasi pergerakan orang Indonesia.

Surat kabar nasional menjadi semacam parlemen orang Indonesia yang terjajah. Pers menyuarakan kepedihan, penderitaan, dan merupakan refleksi dari isi hati bangsa terjajah. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.

Pada masa pergerakan ini ada beberapa organisasi wartawan yang dibentuk oleh kaum jurnalis seperti:
  1. Persatuan Wartawan Indische Journalisten Bond yang dibentuk tahun 1919.
  2. Perkoempoelan Kaoem Jurnalist yang dibentuk tahun 1931.
  3. Persatuan Djoernalis Indonesia yang dibentuk 1933.

Era jurnalis modern pertama kali dipelopori oleh RM. Tirto Adi Soeryo, pemimpin redaksi Soenda Berita. Ia mendirikan perusahaan pers dan majalah mingguan Medan Prijaji dan surat kabar harian dengan jurnalisme politik. Dari sini kemudian terbit beberapa surat kabar lain seperti,
  • Soeara Kaoem Boeroeh di Purworejo.
  • Rakjat Bergerak di Yogyakarta.
  • Suara Umum yang didirikan Dr.Sutomo.
  • Kantor Berita Antara didirikan tahun 1937 oleh Sumanang S.H, Lukman Hakim S.H, Adam Malik, Sipahutar, dan Pandu Kartawiguna.

Koran-koran ini pada umumnya didirikan oleh kaum pergerakan nasional dengan tujuan menggelorakan semangat nasionalisme dan patriotisme, sehingga tidak jarang isinya bersebrangan bahkan anti terhadap pemerintah Belanda. Imbasnya pada tahun 1933 mulai diberlakukan sensor melalui Persbreidel Ordonatie dan Haatzaai Artikelen terhadap pers yang antikolonial.

Beberapa contoh harian yang terbit pada masa pergerakan, antara lain sebagai berikut,
  1. Harian "Sedio Tomo" sebagai kelanjutan harian Budi Utomo yang terbit di Yogyakarta, didirikan bulan Juni 1920.
  2. Harian "Darmo Kondo" terbit di Solo, yang dipimpin oleh Sudarya Cokrosisworo.
  3. Harian "Utusan Hindia" terbit di Surabaya, yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto.
  4. Harian "Fadjar Asia" terbit di Jakarta, dipimpin oleh Haji Agus Salim.
  5. Majalah mingguan "Pikiran Rakyat" terbit di Bandung, dirikan Ir. Soekarno.
  6. Majalah berkala "Daulah Rakyat" dipimpin oleh Moch. Hatta dan Sutan Syahrir.

Karena sifat dan isi pers pergerakan antipenjajahan, pers mendapat tekanan dari pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah dengan memberikan hak kepada pemerintah untuk memberantas dan menutup usaha penertiban pers pergerakan. Pada masa pergerakan itu berdirilah Kantor Berita Nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.

#3 Masa Penjajahan Jepang


Di masa pendudukan Jepang, pers, baik radio, majalah, surat kabar maupun kantor berita dikuasai Jepang, kecuali beberapa surat kabar pribumi di bawah kontrol ketat melalui UU Penguasa. Hanya ada satu surat kabar yang terbit (secara ilegal), yaitu Berita Indonesia. Surat kabar ini penertibannya dipelopori oleh Soeadi Tahsin (pelajar Kenkoku Gakukin).

Surat kabar tersebut diantaranya memuat berita-berita sekitar kehidupan masyarakat yang sangat memprihatinkan akibat penjajahan, kenyataan kehidupan politik pada masa itu, dan berita-berita lainnya mengenai perjuangan bangsa Indonesia.

Penyebarluasan Berita Indonesia bertujuan untuk mengimbangi propaganda pemerintah penjajah Jepang yang disiarkan melalui Berita Goenseikanbu. Surat kabar ini intinya berisi propaganda-propaganda Jepang agar rakyat Indonesia bersedia membantu Jepang dalam perangnya melawan tentara serikat.

Pers nasional masa penduduk Jepang juga mengalami penderitaan dan pengekangan kebebasan seperti zaman Belanda. Namun, ada beberapa keuntungan yang didapat oleh para wartawan atau insan pers di Indonesia yang bekerja pada penertiban Jepang, antara lain sebagai berkut.
  • Penambahan fasilitas dan pengalaman yang diperoleh para karyawan pers Indonesia.
  • Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan luas.
  • Pengajaran untuk rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan sumber-sumber resmi Jepang.
  • Memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat untuk melawan penjajah.

#4 Masa Revolusi atau Perang Kemerdekaan


Pers pada masa revolusi terutama berfungsi menyebarluaskan berita tentang proklamasi kemerdekaan dan mengobarkan semangat perjuangan. Pada saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan, yaitu,
  • Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan sekutu dan Belanda yang selanjutnya dinamakan Pers Nica (Belanda).
  • Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia yang disebut Pers Republik.

Kedua golongan ini sangat berlawanan. Pers Republik disuarakan oleh kaum Republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Sebaliknya, Pers Nica benar-benar menjadi alat perjuangan Indonesia agar menerima kebali Belanda untuk berkuasa di Indonesia.

Jurnalisme politik berkembang dengan pesat. Tanggal 9 Februari 1946, organisasi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia lahir, disusul Serikat Perusahaan (sekarang Penerbit Surat Kabar (SPS) tanggal 8 Juni 1946. Masa berlakunya UUDS 1950 tanggal 17 Agustus 1950, menandai era demokrasi liberal yang diwarnai kebebasan pers, hanya saja pers lemah dalam permodalan.

Pada masal demokrasi liberal ini, ada 4 surat kabar terbesar yang terbit di Indonesia, yaitu
a. Harian Rakyat (organ PKI),
b. Pedoman (PSI),
c. Suluh Indonesia (PNI),
d. Abadi (Masyumi).

Era kebebasan pers di Indonesia pada waktu itu tidak berjalan lama. Pada tahun 1957, terjadi lebih 300 kasus pemberangusan pers oleh pemerintah, penahanan terhadap wartawan, interogasi, peringatan dan penyitaan percetakan dengan mengacu UU ciptaan Belanda.

Disamping itu, terdapat pula kebijakan pemerintah dalam bidang pers yang positif, yakni dalam rangka menangani masalah-masalah pers, pemerintah membentuk Dewan Pers pada tanggal 17 Maret 1950. Dewan Pers tersebut terdiri atas orang-orang persuratkabaran, cendekiawan, dan pejabat-pejabat pemerintah yang bertugas sebagai berikut.
  1. Penggantian undang-undang pers kolonial.
  2. Pemberian dasar sosial ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia (fasilitas-fasilitas kredit dan mungkin juga bantuan pemerintah).
  3. Meningkatkan mutu jurnalisme Indonesia.
  4. Pengaturan yang memadi tentang keduudkan sosial dan hukum bagi wartawan Indonesia (tingkat hidup dan gaji, perlindungan hukum, etika jurnalistik, dan lain-lain).

Puncaknya Kodam V Jakarta Raya memberlakukan ketentuan Surat Izin Terbit (SIT) tanggal 1 Oktober 1957 yang mengawali era kematian pers Indonesia.

#5 Masa Pemerintahan Orde Lama


Pers di masa demokrasi liberal (1949-1959) memiliki landasan kemerdekaan pers konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950.

Awal pembatasan pers adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi terhadap pers nasional.
Pers di masa demokrasi terpimpin (1956-1966) ditandai dengan tindakan tekanan terhadap pers yang terus berlangsung yaitu pembreidelan terhadap harian Surat Kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia dan Sin Po di Jakarta. 


Baca selengkapnya: Perkembangan Pers Pada Masa Orde Lama

#6 Masa Pemerintahan Orde Baru


Pada awal kepimpinan Orde Baru menyatakan bahwa akan membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi pancasila. Hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.

Menurut sidang pleno ke-25 Dewan Pers bahwa pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Hakikat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstrukti.

Namun, pada kenyataannya hubungan baik tersebut  hanya berlangsung lebih kurang delapan tahun. Terjadinya peristiwa Malari (Lima Belas Januari 1974) menjadi awal titik balik kebebasan pers Indonesia.

Baca selengkapnya: Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru

#7 Masa Reformasi


SIUPP dicabut oleh Habibie karena dianggap menghambat kebebasan pers di era demokrasi ini, dan diganti dengan UU No. 40 tahun 1999. Kebebasan pers semakin nyata ketika Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan lembaga yang juga menjadi momok yang sudah ada pada era Soeharto yaitu Departemen Penerangan.

Pers menjadi lebih bebas dan longgar, banyak pers yang mengumbar sensasi dan lebih vulgar sehingga terkesan pers menjadi tidak terkontrol. Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengeksplorasi kebebasan.

Akibat ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, publik kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolak ukur mereka sendiri.

Kalangan pers kembali bernapas lega karena pemerintahan mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU Pers tersebut dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4) dan terhadap pers nasional tidak lagi diadakan penyensoran, pembreidelan, dan pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2).

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi, kecuali hak tolak gugur apabila demi kepentingan dan ketertiban umum dan keselamatan negara yang dinyatakan oleh pengadilan.

Era ini pers berkembang dengan pesat, baik kuantitas penertibannya maupun jumlah oplahnya. Pada masa reformasi, iklim kebebasan pers di Indonesia sangat kondusif. Berdasarkan hasil riset organisasi pers internasional yang berpusat di Prancis (RSF) pada tahun 2002 menempatkan Indonesia pada urutan ke 57 dari 139 negara.

Menurut catatan Aliansi Jurnalistik Independen Indonesia (AJI), memasuki abad 21 perkembangan pers di Indonesa ditandai dengan:
  • Berkembangnya media-media waralaba (franchise) yang mengambil brand terbitan dari luar negeri untuk diadaptasi dan diberi "muatan lokal" kemudian dijual ke pasar Indonesia. Sejumlah penerbit ada yang khusus mengambil brand mapan untuk proyek akumulasi kapital ini, isinya berorientasi hiburan, kecantikan, kesehatan, dan pengisi waktu luang pembacanya. Contohnya, Harper Bazaar, Cosmopolitan, Female Indonesia, da F-1.
  • Masuknya perusahaan-perusahaan nonmedia ke dalam industri media. Misalnya, Group LIPPO yang tadinya memiliki berbagai usaha seperti perbankan, properti, dan lain-lain kini merambah industri multimedia. LIPPO menjadi salah satu contoh dari perusahaan besar yang mencoba peruntungan melalui media online (lippostar.com dan LIPPO e-Net Tbk).
  • Perkembangan industri multimedia seperti internet (cybermedia) makin menggiurkan, baik oleh pemilik lama media maupun pemain baru. Berbagai penertiban mencoba merambah industri media online (Republika dan Kompas), radio dan televisi, baik sebagai supporting system (pendukung, media yang sudah eksis sebelumnya di jalur konvensional) maupun media yang dibentuk secara mandiri misalnya Detik.com, Berpolitik.com, dan Satunet.com.
  • Fenomena industri media masuk ke dalam pasar bursa, seperti TEMPO di Bursa Efek Jakarta yang bermaksud meraih dana segar dari publik. 
  • Munculnya penertiban yang lebih spesifik dengan ulasan dan target pembaca yang lebih terbatas daripada penertiban umum. Arah ini ditempuh baik oleh penertiban besar maupun penerbit kecil seperti munculnya majalah khusus Seluler, Komputek, dan News Music.

Baca juga: 6 Macam-macam Sistem Pers Diberbagai Dunia

Demikianlah artikel kali ini mengenai 7 Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia. Semoga bermanfaat bagi Anda. Sekian dan terimakasih.

Sumber: Modul KEWARNEGARAAN SMK/MAK Kelas XII

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.